Minggu, 06 Desember 2009

RINGKASAN

1. B.W (Burgerlijk Wetboek) dapat juga disebut KUHS (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) dan bisa saja dengan KUH Perdata dan ada juga KUH Privat. Sejak tahun 1948 di Indonesia berlaku KUHP yang berasal dari BW Belanda dan BW Belanda ini juga bersumber dari Code Civil Francais yang juga tidak lepas dari kodefikasi Hukum Romawi yaitu Corpus Iuris Cicilis dari Kaisar Justianus.
2. Hukum Perdata di Indonesia masih bersifat pluralisme oleh karena adanya beraneka ragam adat oleh karena Indonesia terdiri dari banyak suku. Disamping itu penemuan hasil peninggalan Hindia Belanda yaitu pasal 163 I.S yang membagi golongan penduduk.
 Golongan Eropa dan yang dipersamakan.
 Golongan Indonesia Asli (Bumi Putera) dan yang dipersamakan.
 Golongan Timur Asing (India, Cina, Arab)
3. Pasal 131 I.S yang membedakan berlakunya hokum bagi golongan-golongan tersebut. Indonesia Asli berlaku Hukum Adat.
 Golongan Eropa berlaku Hukum Perdata (BW) dan Hukum Dagang (WVK).
 Golongan Timur Asing berlaku hukum masing-masing dengan catatan Timur Asing dan Bumi Putera boleh tunduk pada Hukum Eropa Barat secara keseluruhan atau untuk beberapa macam tindakan Hukum Perdata.
4. Pendapat Penduduk Undang-Undang BW (KUH Perdata) terdiri dari :
Buku I : Mengenai orang
Buku II : Mengenai benda
Buku III : Mengenai perikatan
Buku IV : Mengenai pembuktian

Menurut Ilmu Hukum :
Buku I : Mengenai Hukum Pribadi
Buku II : Mengenai Hukum Kekeluargaan
Buku III : Mengenai Hukum Kekayaan
Buku IV : Mengenai Hukum Waris


5. Yang termasuk sebagai subyek hukum adalah manusia (naturlijke person) dan badan hukum (recht person) seperti PT, PN, Koperasi, yang pada dasarnya memiliki hak-hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.
6. Pasal 3 KUHP (BW) jo UUDS 1950 pasal 15:2 bahwa tidak ada satu hukum manapun yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak kewarganegaraannya (apa yang disebut dengan kematian perdata). Hanyalah seseorang terhukum dicabut hak-haknya.
7. Berlakunya seseorang dengan subyek hukum (pembawa hak) yaitu pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Dan kalaupun oleh suatu kepentingan yang menguntungkan seseorang, hak berlakunya seseorang sebagai pembawa hak yaitu saat ia masih berada dalam kandungan dan bila dilahirkan hidup.
8. Ada beberapa golongan yang oleh UU dianggap tidak / kurang cakap didalam melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum, mereka adalah :
 Orang yang belum dewasa atau masih di bawah umur (orang yang belum mencapai usia 21 tahun). Bagi yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah dianggap cakap. Bagi wanita yang telah menikah, tetap dianggap tidak cakap dalam lalu lintas hukum, maka ia harus di bantu oleh suaminya.
 Orang-orang yang ditaruh dibawah pengawasan (curatele).
9. Perihal obyek hukum yaitu segala sesuatu yang berada dalam peraturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak / kewajiban yang dimiliki oleh obyek hukum yang bersangkutan. Maksudnya, obyek hukum tersebut haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasar hukum. Kenapa harus demikian ? karena ada juga segala sesuatu yang manfaatnya dapat diperoleh tanpa berdasar hukum. Misalnya : sinar matahari, hujan, dll.

Rabu, 11 November 2009

Manfaat Ilmu Hukum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Kewirausahaan

Manfaat mempelajari ilmu hukum di Fakultas Bisnis dan Kewirausahaan adalah penting. Karena dengan kita mempelajari dan mengetahui ilmu hukum kita dapat mengetahui peraturan perundang-undangan yang berlaku disuatu Negara.
Dapat menambah wawasan tentang hukum,baik pidana atau perdata.
Agar kita dapat memahami berbagai pengertian hukum, peranan hukum dan unsur-unsur hukum itu sendiri di fakultas ekonomi.
Dengan adanya hukum kita dapat mengetahui jumlah perusahaan serta sikapnya yang dipengaruhi oleh keadaan hokum dan politikdidalam masyarakat. Misalnya mengenai kebijakan fiscal moneter yang diatur oleh pemerinatah, hubungan industri dengan pemerinatah, peraturan-peraturan dalam pemasaran untuk mengatur persaingan dan perlindungan terhadap konsumen.

Selasa, 03 November 2009

Waralaba dan Persaingan Usaha yang Sehat

ika kita mendengar kata franchise (waralaba) seringkali yang terbayang dalam pikiran kita adalah gerai makanan cepat saji seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonalds, atau gerai kopi terkenal Starbucks. Mungkin banyak diantara kita yang sering mengunjungi gerai-gerai tersebut untuk sekedar makan siang atau bahkan sekedar mencari tempat nongkrong sambil menyeruput secangkir frappucino sembari berbincang sore. Memang benar bahwa beberapa gerai tersebut merupakan franchise yang terbilang sudah established di Indonesia baik dari sisi brand maupun sistemnya. Namun demikian jika kita hanya melihat franchise-franchise luar negeri tersebut maka kita hanya melihat sebagian kecil dari perkembangan franchise di Indonesia. Gerai franchise pun tidak terbatas ada di sektor makanan dan minuman saja namun juga telah merambah sampai bisnis ritel, otomotif, farmasi, bahkan sampai di pendidikan. Di sisi lain perkembangan franchise lokal Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam sepuluh tahun terakhir.

Pesatnya perkembangan waralaba di Indonesia tidak terlepas dari gairah investor skala menengah yang cukup agresif membenamkan investasinya di bidang ini. Investor-investor ini dapat bertindak sebagai franchisor (pemberi waralaba) maupun franchisee (penerima waralaba). Namun demikian dibalik agresifnya para franchisor untuk melebarkan sayap bisnisnya tersirat bahaya yang mengancam para franchisee bila tidak berhati-hati dan selektif dalam memilih bidang usaha mana yang akan digelutinya. Risiko yang dihadapi kebanyakan waralaba adalah sulitnya pengembalian modal. Hal ini terkait dengan prospektifnya sebuah bisnis waralaba yang berbeda di satu tempat dengan di tempat yang lain tergantung dari karakter konsumennya dan tidak terlepas juga dengan kualitas manajemen dari waralaba tersebut. Oleh karena itu Departemen Perdagangan kini telah memiliki regulasi yang mengatur seluk beluk bisnis waralaba dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31 Tahun 2008. Dalam regulasi-regulasi ini diatur persyaratan yang cukup ketat bagi perusahaan yang ingin mewaralabakan bisnisnya. Jika masih belum dapat memenuhi kriteria yang ditentukan oleh PP tersebut, maka cukuplah disebut Business Opportunities (BO) daripada waralaba.

Definisi teknis waralaba yang tertuang dalam PP No. 42 Tahun 2007 adalah “hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”. Dari definisi teknis ini telah dapat dilihat semangat pemerintah bahwa bisnis yang telah diwaralabakan adalah bisnis yang benar-benar terbukti baik dari sisi profitabilitasnya maupun kemanfaatannya. Pihak lain ini dapat berupa konsumen maupun pihak lain yang ingin memperoleh hak waralaba tersebut. Mengingat waralaba dapat diperoleh melalui perjanjian maka tetap dikedepankan asas kebebasan berkontrak yang harus dipatuhi masing-masing pihak.

PP No. 42 Tahun 2007 telah menyebutkan bahwa untuk dapat disebut sebagai waralaba, sebuah bisnis harus memenuhi beberapa kriteria antara lain memiliki ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkesinambungan, dan memiliki hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Di samping itu pemerintah juga telah mewajibkan pemilik waralaba untuk mendaftarkan prospektus waralabanya kepada pemerintah. Beberapa kriteria tersebut serta kewajiban pendaftaran prospektus tersebut ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan agar sebuah franchise yang terdaftar merupakan franchise yang benar-benar sudah well-established. Upaya pemerintah ini juga telah sejalan dengan semangat penciptaan karakter industri yang kuat sehingga dapat memberikan manfaat bagi rakyat seperti penciptaan lapangan kerja baru.

Perlu diketahui bahwa semaraknya waralaba tidak terlepas dari kalangan investor skala menengah yang haus akan investasi. Para franchisor tentu saja sangat gembira dengan kondisi ini. Di saat mereka berusaha untuk memperlebar sayap bisnisnya dengan membuka gerai-gerai baru, di sisi lain gayung bersambut, investor sedang mencari lahan yang profitable untuk disentuh. Bervariasinya ‘warna lokal’ yang dapat dijadikan sebagai ide konsep bisnis di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai peluang bagi investor yang ingin terjun di dalamnya. Beberapa waralaba lokal seperti AutoBridal dan Shop & Drive juga telah membuktikan ketangguhannya dengan menembus pasar luar negeri. Waralaba ritel minimarket seperti Alfamart dan Indomaret juga menyajikan keunggulan kemudahan akses dan simplisitas untuk penggunaan sehari-hari kepada konsumen jika dibandingkan dengan jika harus berbelanja di hipermarket. Waralaba yang makanan dan minuman seperti Solaria, J.Co, dan Obonk Steak juga prospektif mengingat kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan alami yang akan selalu ada sehingga akan selalu ada peluang usaha di bidang tersebut.

Namun demikian perlu disadari bahwa tidak selamanya bisnis menguntungkan. Ada kalanya dijumpai bidang bisnis meskipun sudah diwaralabakan mengalami kemerosotan baik berupa penutupan sejumlah gerai sampai pada risiko gulung tikar. Biasanya waralaba yang mengalami kemerosotan tersebut disebabkan beberapa hal antara lain baik dari sisi franchisor maupun dari sisi franchisee. Dari sisi franchisor, umumnya penyebab kegagalan franchise adalah dari sisi produk yang kurang menjual, kurangnya pemahaman tentang franchise, serta kurangnya kejelasan visi dan misi dan komitmen sehingga perencanaan menjadi kurang matang. Sedangkan penyebab kegagalan dari sisi franchisee antara lain kurangnya pemahaman tentang sistem yang dipakai oleh franchisor, kontrol franchisor terhadap franchisee yang lemah. Kemerosotan omset bagi waralaba bisa dalam bentuk penutupan gerai bahkan sampai kepada risiko gulung tikar.

Salah satu yang menjadi karakter utama dari sebuah bisnis waralaba adalah ciri khas yang melekat. Ciri khas inilah yang tidak semua orang dapat memperolehnya. Untuk itu terkadang ciri khas ini dianggap sebagai sebuah kekayaan intelektual yang dapat dijual baik dari karakter produknya sendiri, sisi business process, atau dari kemasannya. Tidak dipungkiri perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi isu yang sangat terkait erat dengan keberadaan waralaba itu sendiri. Apalagi di negara Indonesia yang dapat dikatakan perlindungan hukum terhadap HAKI masih relatif lemah. Di saat setiap pengusaha gencar untuk mencari diferensiasi atas sebuah produk yang ditawarkan, keberadaan perlindungan HAKI merupakan alat yang diharapkan mampu menjembatani harapan pengusaha untuk tetap mempertahankan ciri khas yang merupakan intangible asset sebagai sebuah daya saing bisnis (competitiveness).

Sistem perlindungan HAKI di Indonesia sebenarnya sudah diakomodasi melalui beberapa Undang-Undang (UU) antara lain UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, UU No. 18 Tahun 2001 tentang Merk, dan masih ada beberapa UU lain yang terkait dengan perlindungan HAKI seperti rahasia dagang dan bahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu sendiri. Namun demikian, terkait dengan persaingan usaha, isu HAKI menjadi diskursus mengingat ada dua sisi yang harus dilihat. Pertama, perlindungan HAKI merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan sebuah bisnis mengingat HAKI merupakan intangible asset yang harus dipelihara eksistensinya sebagai sebuah daya saing. Kedua, HAKI dapat digunakan sebagai modus operandi bagi pelaku usaha untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bentuknya bisa bermacam-macam dan salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan. Kasus yang sangat terkenal terkait dengan perilaku tersebut seperti terjadi pada Microsoft.

Beberapa waktu lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menerbitkan pedoman pasal 50 huruf (b) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mengecualikan kegiatan waralaba pada derajat tertentu dari Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut. Poin utama dari perjanjian waralaba yang dikecualikan dalam UU No. 5 Tahun 1999 antara lain terkait dengan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang terkandung di dalamnya. Sehingga sebenarnya yang dikecualikan mengenai waralaba menurut pedoman tersebut adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Namun poin-poin yang tercantum dalam perjanjian waralaba dapat mencakup banyak hal di luar HAKI dan lisensi seperti disebutkan sebelumnya. Klausula perjanjian penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba, jika berpotensi melahirkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka hal-hal tersebut tidak termasuk dalam pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 50 (b) tersebut.

Selain ketentuan mengenai HAKI, penerapan ketentuan pengecualian waralaba dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut sebenarnya telah serasi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pasal 26 Undang-Undang UMKM telah mengatur pola kemitraan dengan sistem waralaba. Di Pasal 29 kemudian menyebutkan bahwa pelaku usaha yang ingin mewaralabakan bisnisnya harus memberikan prioritas bagi usaha kecil dan menengah. Selain itu waralaba juga harus mengutamakan penggunaan barang yang berasal dari dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu yang diharuskan dalam waralaba tersebut. Pewaralaba juga secara berkesinambungan diharuskan untuk memberikan pelatihan baik dalam bentuk bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada terwaralaba. Ketentuan prioritas penggunaan produksi dalam negeri dan kemitraan dengan UMKM di Undang-Undang UMKM sebenarnya juga telah diadopsi oleh PP Waralaba No. 42 Tahun 2007 di Pasal 9.

Keberadaan waralaba yang semakin marak beberapa tahun terakhir ini tidak mungkin dihindari lagi. Waralaba merupakan strategi yang efektif untuk mengembangkan jejaring bisnis sebuah entitas usaha dengan tidak menghilangkan karakter perusahaan yang sudah menjadi ciri khas waralaba yang bersangkutan. Dalam lingkungan persaingan bisnis yang makin ketat dan kondisi siklus produk yang pendek, pelaku usaha harus memiliki strategi untuk tetap berdaya saing. Identifikasi keunggulan kekayaan intelektual dan penggunaannya secara tepat merupakan upaya yang sangat strategis untuk tetap mempertahankan daya saing bisnisnya dan waralaba adalah jawaban yang paling tepat untuk mengkonversi kekayaan intelektual menjadi laba.

Oleh Adi Nugroho (Staf Biro Kebijakan Persaingan KPPU

SUBJEK HUKUM

WANITA BERSUAMI SAMA KEDUDUKANNYA DIMUKA HUKUM MENURUT SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NO.3 / 1963

Pada saat Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 / 1963 ini belum berlaku, wanita yang bersuami dianggap tak cakap dalam hukum. Karena setiap perjanjian jual-beli, perikatan dan kontrak bisnis yang dilakukan oleh pihak istri tidak sah dimata hukum apabila tidak ada izin dari suami.

Maka dari itu Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 / 1963 ini dikeluarkan untuk menghindari penyelewengan kekuasaan pada suami. Karena menurut KUH-Per, salah satu orang yang dianggap tidak cakap hukum adalah wanita bersuami, jadi kegiatan yang berkaitan dengan hukum yang dilakukan istri tidak akan memiliki kekuatan yang sah apabila tanpa izin dari suami.

Contoh :
Seorang wanita bersuami melakukan transaksi jual-beli tanah dengan broker tanah, maka disaat ratifikasi perjanjian jual-beli tanah harus ada keterangan bahwa suami dari wanita tersebut mengizinkan istrinya melakukan transaksi jual-beli tanah, karena apabila tidak ada izin dari suami maka perjanjian tersebut dianggap cacad hukum.

Untuk itu-lah Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No 3 Tahun 1963 ke seluruh Pengadilan Negeri bahwa mulai berlakunya Surat Edaran tersebut wanita bersuami dianggap cakap hukum.



Adapun isi dari Surat Edaran Maahkamah Agung (SEMA) No.3 / 1963 seperti yang tertera dibawah ini :
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NO. 3/1963
Gagasan Menteri Kehakiman, Saharjo, S.H. itu dalam bulan oktober , 1962 ditawarkan oleh ketua Mahkamah Agung (R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.) kepada masyarakat melalui seksi Hukum dalam kongres MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia). Tawaran ketua Mahkamah Agung itu mendapat persetujuan bulat.
Sebagai konsekuensinya, maka Mahkamah Agung dalam surat edarannya no. 3/1963 sebagai yang diutarakan yang di atas, yang merupakan perubahan yang kedua sesudah tercetusnya UUPA, menganggap tidak berlaku lagi antara lain 7 buah kelompok terdiri dari 8 buah pasal dalam BW.
Dengan keluarnya surat edaran Mahkamah Agung no. 3/1963 itu, beratilah, bahwa pandangan atau prakarsa Sahardjo, S.H. yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, disetujui penuh oleh Pengadilan Tertinggi di Negara Indonesia yang terselenggarakan pula pada masa ini dalam praktek peradilan di Indonesia ; dengan kata lain isi surat edaran Mahkamah Agung no.3/1963 itu telah menjadi hukum positif di Indonesia seperti putusan pengadilan negeri Bandung atas pasal 42 BW di atas dan tentunya oleh Pengadilan Negeri yang lain pada waktu-waktu mendatang.
Adapun kedelapan buah pasal yang dihapuskan itu dapatlah berturut-turut disebutkan dibawah ini :
1. Psl. 108 dan 110 BW :
Psl. 108 BW :
Seorang istri tidak diperkenankan menghibahkan, menggadaikan, memindah tangankan dsb. ataupun melakukan suatu pelunasan atau menerima suatu pembayaran masing-masing tanpa izin tertulis atau tegas dari suaminya.

Psl. 110 BW :
Seorang istri tidak diperbolehkan menghadap pengadilan tanpa izin suaminya.
Dengan dihapuskan kedua pasal diatas maka nyatalah kepada kita bahwa tidak ada lagi perbedaan hak antara suami-istri, ini semua berlaku untuk warga Negara Indonesia, sehigga istri dapat bertindak bebas melakukan tindakan hukumnya ataupun menghadap ke pengadilan, walaupuntidak ada izin dari suaminya.
1. Psl. 284 ayat 3 BW :
Pengakuan terhadap anak luar kawin dari seorang perempuan Indonesia oleh ayahnya mempunyai akibat terputusnya hubungan perdata anak tsb. Dengan ibunya.
CATATAN
1. Hubungan perdata yang diutarakan diatas berarti, bahwa si anak itu tidak lagi tunduk kepada hukum ibunya dan tidak boleh lagi mewaris dari ibunya ; namun si ibu itu tetap merupakan ibu si anak itu.
2. Hubungan luar kawin adalah hubungan seorang laki-laki bujangan dengan seorang perempuan bujangan, tetapi hubungan keduanya tidak ada pengesahan hukumnya.
3. Hubungan overspel (di dalam BW disebut zinah) : hubungan seorang laki-laki bujangan dengan seorang wanita yang masih ada dalam ikatan perkawinan orang lain atau sebaliknya hubungan seorang laki-laki dan seorang wanita yang kedua-duanya masih ada dalam iakatan perkawinan dengan orang lain.
Menurut pasl 32 BW perkawinan antara keduanya tidak dapat dilakukan, sedang anak yang dilahirkan karena hubungan itu sekali-kali tidak boleh diakui berdasarkan pasal 283 BW.

1. Hubungan incest : (di dalam BW dikenal dengan istilah sumbang artinya hubungan yang tak menurut adapt) :hubunga antara seorang laki-laki dan seorang wanita karena ada hubungan keluarga atau darah yang masih dekat atau karena adanya periparan seperti yang dinyatakan dalam pasal 30 dan 31 BW.
Dengan dihapuskannya pasal 284 ayat 3 BW itu, maka pengakuan anak luar kawin dari seorang perempuan Indonesia oleh ayahnya tidak lagi berakibat terputusnya hubungan perdata antara si anak itu denagan ibunya. Dengan demikian bahwa Negara Indonesia terbukti tidak ada perbedaan atau deskriminasi antara semua warga Negara Indonesia.
1. Psl. 1238 BW :
Pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, kalau gugatan itu didahului dengan penagihan tertulis (sommatie).
Dengan dihapuskannya pasal ini maka tanpa sommati orang dapat menagih utangnya.
1. Psl. 1460 BW :
Suatu barang tertentu yang dapat diperjanjikan untuk dijual, maka pada saat itu resikonya beralih ke tangan pihak pembeli, walaupun belum diadakan peyerahanatau levering atas barang tersebut .
Dengan dihapuskan pasal ini maka resiko atas musnahnya barang yang diperjanjikan untuk dijual, namun penyerahan atas barang itu belum dilakukan, beargantung kepada letak dan beradanya barang itu dan bergantung pula terhadap orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut.




1. Psl. 1579 BW :
Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hedak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali telah diperjanjikan sebaliknya.
Dengan dihilangkannya pasal ini dari BW, maka berarti, si pemilik barang berhak menghentikan sewa-menyewa itu. Lain dari pada itu dapatlah pula diajukan, bahwa pemilik rumah harus pula dimintai persetujuannya lebih dahulu tentngpemindahan SIP (surat izin perumahan atau VB = vestingsbesluit )atas rumah miliknya itu.
Disamping apa yang diutarakan diatas dapatlah kita perhatikan pula Psl. 10 ayat 1.b dalam peraturan pemerintah No. 49/1963, tgl. 3 Agustus 1963 (LN 1963 – NO. 89) tentang hubungan sewa – menyewa perumahan, yang menyatakan, bahwa :
Kepala KUP (kantor urusan perumahan) dapat menghentikan sewa-menyewa berdasarkan suatu tuntutan yang menyewakan, jika ia memerlukan perumahan itu untuk dipergunakan sendiri berdasarkan pertimbangan ekonomis dan keadilan sosial.
Bagaimana kalau rumah yang disewakan itu dijual atau salah seorang pihak meninggal?
Kedua kemungkinan ini tidak diatur dalam pasal 10 ayat 1, sub a-d, sehingga secara acontario dapat diperoleh suatu kesimpulan, bahwa penjualan sebuah rumah atau kalau salah seorang meninggal (pihak penyewa atau yang menyewakan ) tidak mengakibatkan terhapusnya persewaan.



Hal ini dapat dikaitkan dengan bunyi :
1. Psl. 1575 BW persetujuan sewa tidak sekali-kali hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan maupun dengan meninggalnya yang menyewa
2. Psl. 1576 BW : dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang di buat sebelumnya, tidaklah putus kecuali apabila ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang (dst.). (yang dimaksud dengan barang dalam ketentuan ini tentulah tidak hanya terbatas kepada rumah saja).
1. Psl. 1602 X ayat 1 dan 2 BW :
Atas perjanjian kerja atau perubahan akan diberlakukan hokum Eropa/BW, kalau perjanjian kerja itu terjadi antara seorang majikan yang tunduk kepada BW dengan seorang budak kepada BW ; dan kalau pekerjaanyang akan dilakukan itu bersamaan dengan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh buruh yang tunduk kepada ketentuan BW, tanpa memandang maksud para pihak.
Dihapuskannya pasal ini karena didalamnya mengandung rasa deskriminatif antara orang Eropa dengan orang Indonesia.
1. Psl. 1682 BW :
Penghibahan barang-barang (kecuali benda-benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan utang) harus dilakukan dengan akta notaries.
Dihapuskan pasal ini dari ketentuan hukum di Indonesia karena tidak sesuai dengan hukum adat yang tidak mengenal notaris dengan notariele-actenya. Di dalam hukum adat tidaklah diharuskan penghibahan itu dilakukan dengan akta notaris, namun cukup dilakukan dimuka kepala desa (umpama dalam penghubahan sebidang tanah atau sebuah rumah dsb.).
Dengan peraturan pemerintah /PP No. 10-tahun 1961, tgl. 23 Maret 1961 : tentang pendaftaran tanah (LN 1961- No. 28) dinyatakan bahwa camat adalah pejabat berwenang untuk membuat akta tanah (prhatikan selanjutnya : UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya )
KESIMPULAN
Dengan kebijakn-kebijakan yang diambil pemerintah untuk penghapusan pasal-pasal diatas ini sangat sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, serta hukum-hukum yang berlaku di Indonesia ini tidak bertentangan dengan adat, karena hukum-hukum yang berllaku itu masih menganut hukum Eropa / BW yang secara tidak langsung itu mempunyai dampak dekriminatif terhadap rakyat Indonesia.
Perubahan pasal-pasal ini sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang harus melakukan perubahan-perubahan atau membuat hukum atau undang-undang sendiri dari anak bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
• Asis Safioedin, S.H. Beberapa hal Tentang Burgerlijk Wetboek,Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 1994.


Blogspot Template by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by ArchitecturesDesign.Com Beautiful Architecture Homes